Askar Wataniah dan Peluang Kerjasama
RI-Malaysia
A |
gaknya pernyataan yang dikeluarkan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat bahwa warga negara Indonesia di perbatasan wilayah Kalbar tidak ada yang direkrut menjadi paramiliter Askar Wataniah bentukan Malaysia (Kompas, 16 / 2 / 2008) dapat dianggap sebagai bantahan atas pemberitaan gencar media massa nasional beberapa hari terakhir ini.
Kita tidak tahu apakah itu juga merupakan respons dari apa yang terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR dengan Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo, tanggal 11 Februari (2008) lalu, yang menyebutkan bahwa Malaysia merekrut pemuda-pemuda Indonesia bergabung dalam pasukan paramiliter yang dinamakan Askar Wataniah.
Atas dasar itu bukankah naif sekali penilaian peneliti senior LIPI Ikrar Nusa Bhakti bahwa tidak masuk akal dan absurd jika Malaysia berani mengambil risiko merekrut WNI sebagai Askar Wataniah karena baik Indonesia maupun Malaysia sesama anggota ASEAN tengah membangun sebuah komunitas keamanan (security community) bersama, apalagi kedua negara juga punya komite khusus (General Border Committee), yang rutin membahas persoalan perbatasan kedua negara. Ikrar juga meyakini masyarakat
***
TENTU saja ceroboh sekali dan tidak taktis jika
Dalam hubungan itu kemungkinan langkah taktis (strategis) yang diambil adalah dengan memanfaatkan peluang atau kondisi obyektif --- namun memiliki keabsahan yuridis --- yang tersedia. Ini juga akan mengesankan
Asumsi Forum SPTN ini sangat beralasan, setidaknya mendapatkan rujukan dari pernyataan Kepala Bidang Humas Polda Kalbar Ajun Komisaris Besar Suhadi bahwa kalaupun ada (WNI yang direkrut menjadi paramiliter Askar Wataniah), mereka sudah beralih kewarganegaraan
Panglima Komando Daerah Militer VI / Tanjungpura Mayjen TNI Suhartono Suratman juga berpendapat, “Mungkin yang menjadi anggota Askar Wataniah adalah mantan WNI yang mendapatkan kewarganegaraan
Empat Kondisi Obyektif
Atas dasar apa yang dikemukakan di atas kita dapatkan kesimpulan awal, setidaknya ada empat kondisi obyektif yang dengan cerdas dimanfaatkan
Kedua, dengan mengikuti hukum alam (Sunnatullah), “ada gula, ada semut”, praktis masyarakat kita yang tinggal di daerah-daerah perbatasan itu banyak yang kemudian mencari nafkah di
Ketiga, atas dasar pertimbangan efektifitas, efisiensi, bahkan kenyamanan hidup, masyarakat kita yang melakukan kegiatan ekonomi di Malaysia kemudian akan lebih cenderung menetap di sana yang akhirnya mendorong mereka untuk beralih kewarganegaraan, dari WNI menjadi warga negara Malaysia. Pilihan ini, tentu saja, semakin menguat bila masyarakat kita (baca: WNI laki-laki) menikah dengan warga setempat (
Keempat, dengan dibukanya peluang-peluang kerja dan profesi baru bagi seluruh warga negara
Yang jelas, kita patut bertanya, mengapa isu Askar Wataniah ini baru mencuat sekarang, menjelang kuatnya isu tentang rencana pemotongan anggaran pertahanan TNI sebesar 15 persen (dari total pagu anggaran bidang pertahanan tahun 2008 sebesar Rp 36,39 triliun), padahal Askar Wataniah itu --- menurut keterangan Atase Pertahanan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta Kolonel Ramli --- sudah ada sejak Malaysia di duduki Jepang pada Perang Dunia II, dan ia diakui pada 1 Juni 1958 (Kompas, 20 / 2 / 2008). Masak sih intelijen kita tidak memiliki informasi tentang itu?
Potensi Ancaman
Dengan alur skenario seperti dipaparkan di atas, persoalan yang kemudian muncul, apakah masih relefan kita mempertanyakan kadar semangat nasionalisme (
***
BILA dilihat dari sudut pandang kita (inward looking) agaknya kita cukup melokalisir pengamatan pada akar persoalan utama yang melahirkan geger tentang Askar Wataniah itu, yakni rendahnya kesejahteraan masyarakat kita yang tinggal di daerah-daerah perbatasan. Dengan begitu, sebagai langkah awal, kita cukup meningkatkan kesejahteraan mereka antara lain dengan membangun infrastruktur di
Oleh karenanya, mulai sekarang pemerintah perlu merubah pola pembangunan yang tadinya dimulai dari Pusat (
Sementara itu, dari perspektif outward looking, layakkah kita mempersoalkan agenda terselubung (hidden agenda) tertentu dari pihak
***
BILA ketimpangan-ketimpangan seperti dipaparkan di atas tidak segera dicarikan jalan keluarnya, pasti kelak akan merugikan kedua belah pihak, terutama Indonesia, yang antara lain dapat dirinci sebagai berikut: (1) Terpicunya kemungkinan perang dingin antara kedua negara, yang kemudian bisa mengarah kepada saling curiga, dan akhirnya berdampak negatif terhadap kerjasama di berbagai bidang; (2) Terbangunnya alasan untuk mendorong pemerintah RI menambah lagi pembentukan minimal satu Komando Daerah Militer (Kodam) di Kalimantan guna merespons kemungkinan terjadinya ancaman --- berikut kemungkinan munculnya sejumlah persoalan yang terkait dengannya --- di daerah perbatasan, yang tentu saja hal itu akan menimbulkan resistensi dari kalangan masyarakat sipil karena bertentangan dengan agenda reformasi TNI; (3) Semakin sulitnya dilakukan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI, mengingat hingga saat ini anggaran tahunan yang disediakan untuk kebutuhan TNI, yang besarnya sekitar Rp 36,6 triliun (itu pun menurut rencana masih dipotong sekitar 15 persen atau Rp 5,5 triliun --- Kompas, 19 / 2 / 2008), nyaris habis dipakai untuk kesejahteraan prajurit; padahal anggaran tersebut semestinya juga harus secara proporsional dialokasikan untuk membiayai pemeliharaan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) --- yang antara lain bisa dipakai untuk melindungi daerah-daerah perbatasan negara --- mengingat sekitar 70 persen alusista TNI umurnya sudah tua dan seharusnya tidak layak lagi dipakai (Kompas, 6 / 2 / 2008); dan (4) Terpicunya peningkatan percepatan perlombaan senjata di kawasan Asia Tenggara yang kemudian juga akan mendorong negara-negara di kawasan ini untuk terus menaikkan anggaran pertahanan mereka, dan nantinya bermuara pada pengurangan alokasi anggaran untuk peningkatan kesejahteraan rakyat mereka serta diraupnya keuntungan oleh negara-negara besar pemasok (penjual) atau produsen peralatan dan mesin perang.
Seandainya skenario buruk tersebut terjadi, yang paling menghawatirkan kita adalah ketidakmampuan untuk membiayai penyelenggaraan negara. Dalam kondisi seperti ini, bukankah rentan sekali dilakukan penjualan aset-aset strategis bangsa (misalnya sejumlah BUMN tertentu) dan pengurasan sumber daya alam negeri ini?
Terkait dengan empat butir yang disebutkan di atas, adakah itu masuk dalam lingkaran pengaruh intelijen negara-negara besar yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara, di mana menurut catatan, jumlah personelnya saja mencapai 500.000 orang.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain,
Peluang Kerjasama
Tentu saja, sebagai negara serumpun, Indonesia dan Malaysia lebih baik berupaya menemukan interseksi-interseksi dalam hubungan mereka, yang kemudian potensi yang didapatkan dari sana harus ditransformasikan secara selaras dan terkoordinasi menjadi pengembangan kerjasama-kerjasama konstruktif --- dalam berbagai bidang --- untuk kemanfaatan kedua belah pihak (mutual benefit atau simbiosis mutualistik).
Oleh karena itu mendesak sekali dibuatkan database terkait dengan potensi-potensi yang ada di daerah-daerah perbatasan kedua negara, yang kemudian dibuatkan pemetaannya (mapping). Dari hasil pemetaaan inilah yang nantinya dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan kerjasama. Dengan perspektif yang dimekarkan, dapat kita katakan bahwa pada sejumlah tempat di sepanjang jalur perbatasan kedua negara perlu dibangun pusat-pusat pertumbuhan secara bersama (RI dan
Sementara itu, masalah trafficking, sengaja kita singgung di sini karena jalur-jalur illegal sering dijadikan sebagai pintu keluar-masuk. Apalagi trafficking merupakan jenis kejahatan internasional yang kini dianggap sangat membahayakan, di mana menurut estimasi Organisasi Buruh Internasional, keuntungan tahunannya di seluruh dunia mencapai 31,6 miliar dolar AS. Dan khusus untuk Indonesia, setiap tahunnya diperdagangkan sekitar 2,5 juta orang, sekitar 43 persen di antaranya adalah korban eksploitasi seksual komersial dan pelacuran (Kompas, 20 / 2 / 2008). Oleh karenanya, masalah pemberdayaan “daerah-daerah terdepan” harus segera ditetapkan sebagai prioritas dalam agenda kerja pemerintah. Semoga! [**]
_______________________
Dikerjakan oleh La Ode Zulfikar Toresano (
(DPD = Demokratisasi dan Pemberdayaan masyarakat Daerah).